Quality Control Dalam Pelayanan di Lembaga Peradilan

Berkenaan dengan kualitas pelayanan public…bolehlah kita contoh salah satu perusahaan swasta yaitu Suzuki. Sebetulnya banyak perusahaan lain yg menetapkan standar pelayanan yg berkualitas terutama di Perbankan, tapi saya pnya pengalaman sendiri dengan perusahaan ini.

Karena mobil saya Ertiga, sering kali saya menyervis mobil di Beres Suzuki. Menurut saya perusahaan ini menerapkan standar tinggi untuk pelayanannya. Dan itu bisa konsumen rasakan sendiri.

Pertama, konsumen bisa merasakan suasana “hangat” dari customer service ketika kita datang, begitu pula dengan suasana ruang tunggu yang nyaman dan menyenangkan. Maka raut muka yg ramah dan manis semanis madu, menjadi prioritas yang harus ditonjolkan oleh pegawai perusahaan sekelas Suzuki. Maka tak heran Dale Carnegie dalam bukunya How to win friends and influence people berseloroh “dalam dunia bisnis seseorang lebih senang memperkerjakan lulusan SMP yang ramah dari pada memperkerjakan lulusan Ph.D yang sangar”. Tentu itu sebuah pilihan dari dua hal.

Kedua, perusahaan tersebut berusaha untuk mengontrol pelayanan tersebut, dengan cara apa? Yaitu dengan cara survey langsung dari perusahaan pusat atau pihak ketiga. Betapa sering kali setelah servis di Beres Suzuki, seminggu kemudian saya ditelepon oleh tim survey dari perusahaan tersebut. Dalam survey tersebut intinya saya diminta untuk memberikan penilaian terhadap pelayanan mereka. Mulai dari kebersihan ruang tunggu, pelayanan, Petugas, ketepatan waktu dll. Tentu saja bila saya kurang puas saya akan menyampaikannya begitupula sebaliknya. Dan saya yakin, hasil survey ini akan menjadi bahan evaluasi mereka terkait kinerja perusahaan. Dengan begitu, saya melihat hasil survey perusahaan ini harus dilakukan senatural mungkin dan sejujur mungkin, lha wong saya ditelpon langsung dari Jakarta. Artinya apa? Survey ini bisa jadi tolak ukur kinerja perusahaan terutama yg menyangkut pelayanan terhadap konsumen.

Nah sekarang bagaimana dengan di Pengadilan? Apakah sudah seperti itu?

Sebetulnya setelah adanya Akreditasi Penjaminan Mutu alias APM, standar pelayanan public di pengadilan mulai mengarah kesana, dalam sistem APM juga ada survey kepuasan pelanggan, ada SOP pelayanan, ada juga tim Survailence yg bisa datang sewaktu waktu untuk mengecek kebenaran raihan yang dicapai. Semua itu bertujuam untuk meningkatkan kualitas pelayanan public di Pengadilan.

Namun semua itu tergantung aparaturnya, apabila raihan APM yg Excellent (misalnya) hanya didapatkan dari sekedar “bagus” di atas kertas tapi “nol” dilapangan, menjadi sia sia karena bisa jadi misalnya survey pelayanan pelanggan di manipulasi, kesigapan petugas hanya oke ketika d awasi saja. Karena tdk seperti perusahaan besar tadi yang langsung memastikan kualitas pelayanan dipantau oleh pusat dengan menelpon langsung konsumen. Maka bisa jadi lain, manakala SAPM ini juga membuat kebijakan seperti itu, pelanggan pengadilan ditelpon langsung dari tim APM Mahkamah Agung, tentu saja nomor pelanggan harus benar2 yang bersangkutan. Sekali lagi ini tentang mental, ya mental melayani. Karena kalau tidak memiliki mental semacam itu, ya pasti saja masih ada manipulatif dalam raihan APM. (TRS)